Kamis, 28 Januari 2010

6 Oktober 2009

Aku Lia Dwinata. Lahir dari keluarga miskin yang hidup di bantaran Kali Code. Perkerjaan ayahku adalah tukang koran sedangkan ibuku sudah meninggal sewaktu melahirkanku. Aku sendiri tidak bersekolah, aku hanya bekerja sebagai pengamen jalanan, tapi jangan dikira aku tidak bisa membaca dan menulis. Di Code kami mendapat bantuan fasilitas perpustakaan dari para dermawan selain itu mahasiswa-mahasiswa KKN di beberapa perguruan tinggi ternama di Jogja juga sering datang hanya untuk sekedar memberikan pelajaran kepada anak-anak sepertiku.
Hari ini tanggal 6 Oktober 2009, seperti biasa ketika aku bangun pagi hari ayahku sudah tidak ada, maklum beliau harus mengambil koran pagi-pagi sekali dari pusatnya dan segera menjajakannya di jalanan-jalanan Kota Jogja. Aku sendiri diributkan dengan rutinitas pagiku karena aku anak ayah satu-satunya, aku yang harus mengurus semua pekerjaan rumah. Sedangkan pekerjaan pengamenku hanya sesekali kujalani untuk menambah uang makan dan sewa rumah kecil ini.
Setelah membereskan semua pekerjaan rumah seperti mencuci piring dan baju, aku segera menjejakan langkahku ke perempatan Tugu, itu adalah kawasanku mencari nafkah. O ya, aku mengamen di perempatan Tugu tidak sendiri ada satu temanku yang berprofesi sama denganku namanya Danu. Dia sepertiku, anak Kali Code. Aku dan Danu sangat kompak, kami berdua dapat dengan mudah menilai pengendara mana yang mau memberikan sedikit uang kepada kami. Biasanya juga kami mengamen di arah jalan yang berlawanan Danu di perempatan jalan dari arah timur ke barat sedangkan aku sebaliknya.
Dengan berbekal gitar kecil dan suara seadanya aku mulai berkeliling ke tiap kendaraan yang berhenti. Entah mengapa pagi ini aku merasakan perbedaan, Kota Jogja yang biasa disinari matahari dengan terik, kini tidak terlihat begitu. Udara terasa sangat lembab sepertinya akan turun hujan.
Empat jam sudah aku lalu lalang di jalanan Tugu, aku memutuskan untuk istirahat sejenak. Ketika sedang asik mengutak-atik bekal yang kubawa aku mendengar bunyi keras sekali. Brakkkkkkkkkkkkkk....... Ku paling kan mukaku mencari arah suara tersebut. Tak salah lagi itu suara tabrakan, seketika aku berdiri dan berlari ke tempat kejadian. Oh Tuhan, aku melihat seorang bapak tua dengan sepeda ontelnya sudah terkapar berlumuran darah tepat di depan sebuah warnet di kiri jalan. Aku sangat syok melihat keadaan bapak itu, ternyata bapak itu ditabrak oleh sebuah mobil. Dan aku semakin terkejut mendengar bahwa yang menabraknya adalah mobil Ambulance yang sedang dikejar tugasnya. Sopir Ambulance pun tidak dalam keadaan baik, sopir yang ditemani satu perawat wanita di sebelahnya juga mengalami luka-luka yang bisa dibilang cukup serius.
Melihat kondisi yang begitu kacau polisi segera datang memberi bantuan, lagi-lagi aku hanya bisa melihat ketika polisi-polisi itu mengangkuti para korban dan melarikannya ke rumah sakit terdekat. Rasa syokku mengalahkan rasa ibaku untuk membantu menolong para korban. Bukan karena aku tidak ingin menolong tapi pikiran dan imajinasiku sedang melayang-layang, aku berpikir jika yang ditabrak itu adalah ayahku apa yang harus aku lakukan. Meskipun aku ingin sekali menolong tapi aku pasti tidak akan bisa, aku masih berumur 12 tahun dan dengan tubuh sekecil ini aku yakin aku tidak akan banyak membantu.
Imajinasiku terputus ketika ada suara yang memanggil namaku, ” Lia!”. Aku menoleh dan ternyata itu adalah suara Danu, Danu menghampiriku dan menyeretku menepi dari jalanan. Aku hanya bisa berjalan mengikuti langkahnya. Danu tau aku sangat syok melihat peristiwa tadi, dia mencoba mengalihkan pikiranku dengan bertanya sudah berapa banyak uang yang aku dapatkan dari hasil mengamen. Aku menjawab seadanya namun dia terus saja mencoba mengurangi rasa syokku, maklum Danu lebih tua 5 tahun dariku, dia lebih dapat mengontrol emosinya daripada aku sehingga rasa syoknya tidak sebesar yang kurasakan. Untuk menghargai usahanya aku mulai tidak memikirkan kejadian itu dan meneruskan pekerjaanku. Tapi aku sempat berpikir ternyata langit mendung di atas merupakan pertanda atas peristiwa pilu bapak tua itu.
Ketika jam di Tugu menunjuk angka jam dua siang, aku memutuskan pulang ke rumah untuk beribadah. Dalam hal beribadah aku memang sangat disiplin, meskipun kadang waktu solatku tidak setepat adzan berkumandang tapi aku pasti solat lima waktu sehari. Maklum ini adalah ajaran ayahku dari kecil.
Perjalanan ku dari Tugu ke rumah tidaklah menghabiskan banyak waktu, hanya cukup berjalan 15 menit saja sudah sampai di depan rumahku. Seperti biasa aku melihat ayah kini sudah berganti kesibukan, beliau kini sedang merawat kolam ikan kesayangannya yang letaknya tepat persis di depan rumah sewa kami. Aku memanggil ayahku sekedar bertanya apakah beliau sudah makan dan ternyata tebakanku tepat ayahku belum makan. Ini sudah biasa berhubung ayahku adalah seorang pekerja keras sehingga beliau sering lupa makan. Setelah selesai solat aku segera menyiapkan makan siang seadanya untuk kami berdua yaitu nasi lauk tempe goreng dan sambal. Ini makanan yang sangat sederhana tapi aku merasakan sangat nikmat menyantapnya karena aku melihat ayahku begitu lahap memakan masakanku.
Selesai makan dan membereskan semuanya aku kembali keluar rumah. Aku melihat ayahku sudah bersiap untuk pergi bekerja lagi. Selain bekerja sebagai loper koran ayahku juga bekerja sebagai pengumpul botol bekas. Semua pekerjaan halal pasti akan ayahku lakoni untuk biaya hidup kami berdua.
Setelah persiapan ayahku selesai, ayahku pamit untuk berangkat. Sembari menunggu ayahku pulang bekerja aku menyempatkan diri ke perpustakaan mini di dekat rumahku. Kali ini aku tidak ingin membaca buku dongeng ataupun komik tapi aku ingin membaca kliping koran yang dikumpulkan oleh mahasiswa sebuah perguruan tinggi di Jogja. Judul kliping itu adalah ”Peristiwa-peristiwa Naas di Jalanan”. Membaca judul klipingnya saja sudah membuatku terhenyak, aku memflash back ke beberapa jam lalu. Harusnya peristiwa tabrakan kakek tadi masuk dalam kliping ini pikirku. Aku mulai membaca satu demi satu berita yang ada. Sampai pada satu artikel yang menarik perhatianku. Judul artikel itu adalah ” Tabrak Lari di Jembatan Gondolayu Menewaskan Satu Orang Pemulung ”. Peristiwa ini terjadi pada tanggal 6 Oktober 2008 tepat pada pukul 17.10 WIB dan berarti peristiwa itu terjadi tepat tahun lalu di hari ini. Aku melanjutkan membaca artikel itu, kudapati beberapa fakta bahwa pemulung itu meninggal di tempat kejadian sesaat setelah ditabrak dan pemulung itu juga meninggalkan satu anak perempuan yang masih berumur 12 tahun serta pemulung itu adalah warga bantaran Kali Code pula.
Belum selesai aku membaca semua isi artikel itu, aku melihat Danu berlari ke arahku dengan tergopoh-gopoh. Dia berteriak-teriak memanggil namaku. ” Liaaaaaaa... Liaaa....!”. Aku segera menutup kumpulan artikel di tanganku dan menghampirinya lalu aku bertanya ada apa. Dia menjawab dengan terbata-bata. ” A... A... Ayahmu , ayahmu ke... kecelakaan Li! Ayahmu ada di jembatan atas situ.”, Danu menunjuk ke arah Jembatan Gondolayu. Spontan aku berlari secepat yang aku bisa. Aku sudah tidak peduli dengan apapun bahkan aku sudah tidak bisa mendengar suara Danu lagi. Ketika aku sampai di jembatan, orang-orang berkerubut di satu tempat. Aku berusaha masuk di antaranya. Aku mencari-cari dimana ayahku tergeletak. Dan seketika aku mematung mendapati ayahku yang kini berada di depanku. Aku sudah tidak mampu berkata-kata, airmataku pecah seketika. Aku menangis terisak memanggili ayahku yang keadaannya sama persis dengan bapak tua tadi siang. Aku menoleh, meminta bahkan meraung-raung pada setiap orang yang berkerumun untuk menolong ayahku. Tapi semua hanya bergeming dan sibuk mengucapkan kata sabar padaku.
Tiba-tiba aku mendengar ada sirine Ambulance yang datang dan petugasnya langsung mengangkat tubuh ayahku. Aku tak tinggal diam, aku ikut masuk ke mobil itu. Aku melihat para petugas sibuk mengecek seluruh tubuh ayahku, memasanginya dengan banyak alat, dan membersihkan lumuran darah di tubuh ayahku. Aku terus menangis dan berdoa. Pikiranku kembali melayang, baru saja aku melihat peristiwa tabrakan di perempatan Tugu, baru saja aku memikirkan jika itu terjadi pada ayahku, dan baru saja aku membaca artikel tentang kecelakaan di Jembatan Gondolayu. Aku tak menyangka kini semua peristiwa tadi terangkum menjadi satu di depanku dan terjadi padaku.
Cukup 10 menit Ambulance melaju untuk sampai ke RSUP Dr. Sardjito. Ayahku segera dibawa ke UGD dan aku harus menunggu lagi. Meski aku sudah tidak dapat berpikir apapun karena aku terlalu cemas pada keadaan ayahku, aku masih sempat mengingat kata-kata ayahku. Ayahku pernah berkata bahwa aku harus selalu ingat Tuhan di setiap kejadian yang menimpaku. Aku tak membuang waktuku lagi. Aku segera bertanya pada seorang suster dimana masjid berada.
Setelah menemukan letak masjid, aku segera mengambil air wudhu dan solat. Tak henti-hentinya aku berdoa pada Tuhan agar ayahku selamat dan aku masih diijinkan melihat ayahku tersenyum padaku lagi. Itu semua karena aku merasa bahwa aku tidak akan bisa hidup tanpa ayahku.
Selesai berdoa dan solat aku bergegas kembali ke depan ruang UGD. Aku mencari-cari dimana ayahku sampai ada tangan yang menepuk pundakku. Aku menoleh dan ternyata itu adalah dokter yang memeriksa ayahku. Dokter berkata ayahku masih hidup namun dalam keadaan kritis. Aku menangis lagi akan tetapi dokter berkata bahwa akan berusaha semampunya untuk menolong ayahku. Isakku kuhentikan dan aku memutuskan untuk menjaga ayahku di rumah sakit.
Lima hari sudah ayahku dirawat di RS Dr. Sardjito dan keadaan beliau kini sudah mulai membaik. Aku menyadari bahwa aku masih sangat membutuhkan ayahku di sampingku. Aku bersyukur pada Tuhan karena Tuhan mengijinkanku melihat senyuman ayahku lagi, aku juga bersyukur karena peristiwa kecelakaan ayah tidak senaas peristiwa pada artikel berita yang kubaca.
Melihat peristiwa yang menimpa bapak tua itu dan peristiwa yang terjadi pada ayahku pada hari itu. Aku belajar banyak hal. Aku belajar bahwa Tuhan masih menyayangiku dan bahwa Tuhan mendengar setiap doa umatnya. Aku berjanji pada Tuhan kalau aku tidak akan menyia-siakan hidupku dan aku akan berusaha menolong setiap orang yang membutuhkan pertolonganku.. Untuk itu aku harus belajar meskipun tidak melalui jenjang sekolah resmi.

Yuana Anandatama
09/282545/SP/23503

Tidak ada komentar:

Posting Komentar