Kamis, 28 Januari 2010

mimpi terindahku

“Uhuk.. uhuk…uhuk…,” aku terbatuk-batuk dengan lantang di atas tempat tidurku. Aku merasa badanku sedang tidak enak sekali sehingga malam ini aku berencana untuk tidur lebih awal. Sebelum mataku ini terpejam aku sempat berpikir kalau aku akan merancang sebuah cerita indah untuk kujadikan bunga tidurku. Ya, cerita yag simpel saja namun indah seperti bertemu bidadari cantik dari surga yang mau bersanding dengan kakek tua sepertiku atau menjadi kaya raya hanya karena aku punya pohon yang berbuah emas. Sangat tidak mungkin bukan, tentu saja namanya juga cerita khayal yang akan memperindah tidurku. Tanpa terasa mataku perlahan mulai menutup dan kesadaranku mulai hilang.
”Brakkkkk!” Terdengar gebrakan keras dari arah pintu kamarku. ”Gilanggggggg! Bangun kau!” Seru sebuah suara yang kutebak pasti suara si Bocel, temanku dari Medan. Aku mengerdip-kerdipkan mataku. Aku bangun dengan segera. Namun aku merasakan ada yang beda dengan tubuhku. Kenapa tubuhku menjadi lebih kuat? Itu pertanyaan yang muncul di kepalaku. Aku berjalan menuju cermin di kamarku. Astaga, aku menjadi muda. Aku kembali mengerdip-kerdipkan mataku untuk memastikan apakah aku telah bangun seratus persen. Saking herannya aku sampai bertanya pada si Boncel, ”Cel, aku mimpi kah? Kok aku jadi muda ?” Seketika Boncel tertawa dan menjawab, ”Bah, apa pula kau ini, kalau kau mimpi tak kan dengarlah kau suaraku!” Aku berpikir dalam hati, benar juga kata si Boncel ini. Ya sudah daripada terus memperdebatkan hal ini, aku memutuskan untuk memulai hariku yang sedikit aneh ini.
Hariku kali ini dimulai dengan acara mengantri. Bukan mengantri tiket di bioskop atau mengantri sembako di kecamatan, tapi ini mengantri kamar mandi untuk mandi. Ya benar, aku adalah seorang anak kos yang tentu saja kamar mandi bukan menjadi milik pribadi harus rela berbagi jatah waktu untuk bisa memasukinya. 10 menit, 15 menit, 30 menit, lama sekali aku menunggu. Aku heran siapa yang ada di dalam kamar mandi ini. Aku bertanya pada temanku yang sama-sama mengantri, ” Eh, siapa sih di dalam, kok lama banget?” Temanku menjawab, ”Si Boncel tuh.” Dengan segera aku berteriak, ”Boncellllllllllllllllllll...ngapain saja kamu di dalem??? Keluarrrrrrrrrrr!” Begitu suaraku menggelegar terdengar sahutan dari Boncel,”Langgg, tak bisakah kau sabar, keras ini Boy.” Spontan teman-teman seisi kosku yang mendengarnya tertawa terbahak-bahak. Dasar si Boncel lucu juga ini anak. Akhirnya karena tak sabar menunggu Bocel melunakan isi perutnya yang keras, aku memutuskan untuk mandi di sungai saja. Ini biasa kulakukan jika situasi ini terjadi. Sejujurnya bisa saja aku setiap hari mandi di sungai karena selain air di sungai ini masih bersih juga karena aku tidak perlu repot-repot mengantri. Namun yang jadi masalah adalah aku sudah beranjak dewasa dan sungai ini sering dipakai para gadis untuk mandi juga. Malu dong kalau aku dianggap curi-curi kesempatan mengintipi para gadis ini ya walaupun sejujurnya ini tak masalah toh aku tak rugi justru untung bisa cuci mata di pagi hari. Hehehe. Tawaku dalam hati.
Cukup menempuh perjalanan 10 menit saja untuk sampai di sungai, aku celingukan sebentar melihat kanan kiri dan memastikan aku berada di tempat aman untuk melepas semua pakaianku dan memulai ritual mandiku. Setelah dirasa tak ada orang aku melucuti pakaianku dan menaruhnya di batu pinggir sungai kemudian aku mulai mandi. Cukup waktu 5 menit aku menyelesaikan mandiku. Aku bergegas naik ke daratan dan mengambil pakaianku. Astaga, celana dalam dan bajuku hilang. Aku celingukan ke sekitar sungai. Oh Tuhan celana dalam dan bajuku hanyut terbawa air sungai dan sudah mencapai ujung sungai. Ya sudah apa boleh buat, aku pulang hanya menggunakan celana yang tadi aku pakai. Itupun tanpa celana dalam. Aku bersyukur manusia tidak memiliki kemampuan ilmu magik untuk melihat benda-benda secara tembus pandang. Jika setiap manusia diilhami kemampuan itu, bisa malu aku.
Sampai di kos si Boncel terheran-heran melihat aku pulang dengan setengah telanjang. ”Eh Boy, mana pula baju kau? Kau ini sedang tidak berpikir untuk bertapa di sungai kan?” Tanyanya. Aku menjawab, ”Ini semua gara-gara kamu Cel, kalau kamu ga ’keras’ aku bisa tidak kehilangan baju dan celana dalam aku.” Boncel menjawab jawabanku, ”Bah, jadi kau ini daritadi tak pakai celana dalam? Hahaha, kenapa kau salahkan aku? Aku juga tak menginginkan jadi ’keras’, perasaan kemaren aku hanya makan tempe, tahu, telor, pepes ikan, sop, lodeh, apa lagi ya Boy?” Ah, daripada aku menanggapi hal bodoh itu aku segera berlalu meninggalkan Boncel dan masuk ke kamarku untuk berganti pakaian. Aku membuka isi lemari pakaianku. Isinya hanya beberapa helai baju yang menggantung salah satunya baju seragam SMA. Sebelum berpakaian, aku bercermin dan dalam hati aku berpikir, untuk wajah seusia ini pasti baju SMA yang harus aku pakai lagipula tadi aku sudah melihat Boncel memakai seragam SMA sama persis seperti tempatku. Aku bergegas memakai seragam SMAku ini dan keluar dari kamar. ”Cel, ayo berangkat!” Ajakku pada Boncel. Dengan sedikit terkaget Boncel menjawab, ”Ayolah Boy, lama benar kau ini.”
Aku berjalan beriringan dengan Boncel dan selama perjalanan aku melihat pemandangan di sejauh mataku memandang. Tidak ada yang berubah pikirku dalam hati. Karena kosanku masih berada di daerah desa waktu yang dibutuhkan jika menempuh perjalanan dengan berjalan kaki sekitar 15 menit. Cukup jauh memang namun aku memilih kosan ini karena harganya yang relatif murah. Ya meskipun harus mengorbankan waktuku untuk bangun lebih pagi supaya tidak terlambat sekolah.
Sampai di sekolah aku di sambut dengan suara hiruk pikuk teman-temanku. Ada apa ini? Pikirku dalam hati. Aku bertanya pada temanku, ”Ada apa sih kok ribut gini?” Temanku menjawab, ”Ada murid pindahan cewek cantik sekali, lihat saja tuh.” Deg, jantungku terasa mau copot. Cantik sekali gadis ini. Detak jantungku semakin tidak beraturan. Jatuh cintakah aku? Apakah ini yang sering disebut jatuh cinta pada pandangan pertama? Perasaan luar biasa menggerogoti tubuhku, aku melihat gadis itu sedang bercakap-cakap dengan wali kelasku Pak Totok. Entah ada setan apa yang menggerakan kakiku, tiba-tiba kakiku melangkah maju ke depan pintu ruang kepala sekolah tempat gadis itu dan Pak Totok bercakap-cakap. Perlahan tapi pasti aku merasakan kakiku berjalan mendekati gadis rupawan itu. Aku mengulurkan tanganku dan berkata, ”Kenalkan nama saya Gilang, saya bersedia menjadi pemandumu mengelilingi sekolah ini.” Aku merasakan nada bicaraku sedikit datar dan terbata. Pak Totok dan gadis itu tersenyum dan kemudian Pak Totok berkata padaku, ” Baik sekali kau Gilang, baiklah mulai sekarang pandu Anita untuk mengenal lingkungan sekolah kita ya.” Oh, jadi namanya Anita, nama yang cantik secantik si empunya. Aku menjawab dengan mantap, ”Baik, Pak!” Sekilas aku menatap ke arah gadis itu dan dia tersenyum manis sekali. Wah, indah nya hari ini. Hehehe.
Setelah bel masuk berbunyi aku dan teman-teman masuk ke kelas dan kelas ramai diwarnai pertanyaan untuk Anita yang baru saja memperkenalkan diri. Aku hanya diam saja dan terpaku melihat wajah rupawan miliknya sampai-sampai ketika si Boncel melucu dengan pantun meminta nomor handphone Anita saja hanya aku yang tidak tertawa.
Sesuai kesanggupanku tadi selama istirahat dari pelajaran aku menemani Anita berkeliling sekolah. Awalnya suasana terasa kaku karena saking tegangnya aku untuk memulai topik pembicaraan. Tapi semua melebur dengan keramahan Anita yang memulai mengajakku mengobrol dan diakhir obrolan itu aku memberanikan diri untuk mengantarnya pulang. Tanpa kuduga Anita mengiyakan ajakanku. Oh Tuhan, bahagianya aku.
Inilah awal aku mengenal Anita dan berani mendekatkan diriku dengan Anita. Tidak di sekolah, tidak dikosan semua pikiranku tertuju pada Anita dan bisa kupastikan Anita adalah cinta pertamaku. Bahkan di sekolah aku dan Anita sering diolok-olok sebagai sepasang kekasih dan mungkin karena aku terlalu memperlihatkan perasaan istimewaku untuk Anita maka mereka tak henti-henti memperolok kami.
Suatu hari ketika aku berjalan pulang bersama Anita aku membuka topik pembicaraan. ”Nit, bagaimana tanggapanmu dengan olok-olokan teman-teman kita yang mengira kita sepasang kekasih? Apa kamu merasa risih atau keberatan?” Tanyaku padanya tiba-tiba. Aku melihat ekspresinya, Anita sedikit terkejut namun kemudian tersenyum dan menjawab, ”Tidak, aku sudah menganggapmu seperti sahabatku Lang jadi untuk apa aku risih.” Deg, jantungku serasa mau copot. Jadi selama ini Anita hanya menganggapku sahabat. Apa yang harus kulakukan Tuhan untuk menutupi ekspresi kecewaku ini? Sedikit gusar aku bertanya kembali, ”Apakah ada orang yang sedang kamu suka Nit? Aku hanya tak ingin menjadikan orang itu salah persepsi dengan hubungan kita.” Aku merasa kata-kataku ini rada aneh tapi ya sudahlah aku menunggu jawaban darinya. Aku melihat ekspresinya kembali terkejut dan kemudian pandangan Anita menerawang jauh ke depan. Dia hanya menjawab sekenanya, ”Ada, tapi aku tak tahu apakah perasaan ini boleh ada, aku rasa dia terlalu baik padaku dan hanya menganggapku sahabat.” Fiuh, hatiku tiba-tiba terasa sakit. Ini cinta pertamaku, pertama kali merasa, aku menganggap rasa ini indah tapi ternyata pada waktu yang bersamaan cinta pertamaku terasa sangat pahit. Sepanjang jalan pulang akhirnya aku hanya bisa terdiam.
Malam harinya mau tak mau akhirnya aku terpaksa curhat dengan si Boncel, lumayanlah meskipun saran-saran Boncel kadang tak bisa dinalar otak karena terlalu ngawur namun ini cukup bisa membuat hatiku lega. Awalnya rada canggung untuk mengakui pada Boncel bahwa aku jatuh hati pada Anita. Eh ternyata dia sudah tahu dan dia bilang perasaanku sangat terlihat dari cara aku memandang dan caraku bersikap pada Anita. Ya apa boleh buat akhirnya aku bercerita pokok masalahku yaitu Anita jatuh cinta pada orang lain. ”Aku patah hati Cel.” Kataku dengan sedih. ”Jangan gitulah Boy, tak seperti kau sangat ini! Ayo maju Boy, sebelum janur kuning melambai dia bisa jadi milik siapa saja.” Katanya kepadaku. Aha, benar juga ni si Boncel, aku akan berusaha sebelum janur kuning itu melengkung, akan kuperjelas kembali perasaanku kepada Anita, akan kulakukan banyak cara agar dia tertarik padaku. Hahaha. Aku tertawa dalam hati.
Pagi ini aku akan menjalankan misi yang sudah aku susun semalaman bersama Boncel. Misiku kali ini adalah menjauh dari Anita dan melihat ekspresinya. Berawal dari pagi hari, aku tidak menyapanya dan tidak berbicara dengannya. Sempat dia mencoba mengajakku ngobrol tapi aku berlalu dan menghindarinya. Ketika pulang sekolahpun aku tidak menawarinya pulang bersama. Aku melihat ekspresi wajahnya berubah menjadi sedih. Yes, aku berhasil pikirku.
Hari berikutnya adalah hari untuk menjalankan misi keduaku yaitu membuat puisi cinta yang secara tersirat kupersembahkan untuknya. Beruntung sekali rencana ini pas dengan tugas bahasa Indonesia yang diberikan Pak Totok kepada kami yaitu membuat puisi dengan tema bebas. Ketika Pak Totok meminta sukarelawan untuk maju membacakan puisi yang telah kita buat, aku dengan antusias mengangkat tanganku dan maju ke depan. Aku mulai membacakan puisi cintaku yang berjudul ’Sahabat Jadi Cinta’. Dengan sengaja setiap selesai membaca tiap baris puisiku aku menoleh ke arah Anita dan aku melihat matanya berbinar-binar. Hatiku riang sekali. Aku merasa Anita memang tertarik padaku. Tapi misiku belum berakhir masih ada misi ketigaku yaitu acara pernyataan cinta.
Hari ketiga yang dijadwalkan menjadi hari pernyataan cintaku telah tiba. Bunga dan coklat sudah siap di genggamanku. Pulang sekolah aku menyeret Anita ke tengah lapangan dan aku berteriak di depan ratusan teman sekolahku, ” Anita, aku suka padamu!!! Bukan sebagai sahabat tapi sebagai seorang wanita seutuhnya. Ambil bunga ini jika kamu menerimaku dan ambil coklat ini jika kamu menolakku!” Anita tentu saja terbengong-bengong, aku yang tanpa permisi atau tanpa prolog berani secara langsung menyatakan cintaku di hadapan ratusan manusia. Muka Anita memerah. Terbata-bata dia berkata padaku, ” Apa-apan kamu Lang, kenapa mesti seperti ini?” Aku menjawab jujur, ” Maaf Anita, aku hanya tidak sanggup lagi menahan perasaanku dan aku tidak mau menerka-nerka siapa lelaki itu. Aku ingin mempertegas semuanya, jika memang lelaki itu bukan aku tolaklah aku.” Anita kembali menatap mataku, dia tersenyum dan mengambil bunga dari tanganku. Serentak seisi sekolah bersorak. ”Oyeeeeeeeeee! Selamat ya Lang.” Sungguh tak terbayangkan betapa bahagianya aku saat itu.
”Mas... Mas, ayo bangun!” Ada suara lembut yang bergaung di telingaku. Suara yang tak asing lagi yaitu suara dari seorang wanita yang telah menemaniku hingga seusia ini. Aku mulai membuka mataku, kuamati lingkungan sekitar, dan kuraba tubuhku. Kisut. Aku telah kembali dari alam mimpiku. Mimpi yang luar biasa indah melebihi cerita-cerita awal yang kurancang. Mimpi ini terasa nyata seperti kembali lagi terjadi. Aku memang tidak bermimpi menjadi kaya raya ataupun bertemu dengan bidadari dari surga tapi aku memimpikan masa SMAku. Masa yang luar biasa indah ketika aku mendapatkan cinta pertama dan cinta sejatiku denagn penuh perjuangan. Anita bidadariku.

2 komentar: