Jumat, 29 Januari 2010

sebuah kisah dari sebuah monumen



Tak Hanya Diam
“Jangan bimbang menghadapi bermacam-macam penderitaan karena makin dekat cita-cita kita tercapai makin berat penderitaan yang harus kita alami.”
-Amanat Panglima Besar Sudirman-



Tak gentar demi Merah-Putih
Pada tahun1949, Indonesia masih dikuasai Belanda walaupun saat itu Indonesia telah merdeka. Belanda tidak pernah menganggap Negara Indonesia itu ada. Belanda tetap menganggap Indonesia adalah negara jajahan mereka. Indonesia tidak tinggal diam dengan keadaan seperti itu. Berbagai perlawanan dilakukan untuk mempertahankan kemerdekaan yang telah diraihnya. Mulai dari Perang Gerilya yang dipimpin oleh Jenderal Sudirman yang membuat pos-pos pertahanan Belanda kewalahan, sampai pada puncaknya, yaitu Serangan Umum 1 Maret di Yogyakarta.
Kenapa Yogyakarta ? Yogyakarta merupakan ibukota Indonesia saat itu. Sehingga serangan besar akan mendapat perhatian dunia internasional. Tujuannya agar dunia internasional mengetahui bahwa TNI masih berdiri tegak, yang juga menandakan Negara Kesatuan Republik Indonesia masih berdiri tegak. Pagi hari sekitar pukul 06.00, sirine berbunyi menandakan “serangan spektakuler” dilancarkan. Serangan yang dilancarkan serentak di seluruh wilayah Yogyakarta ini membuahkan hasil yang luar biasa. TNI berhasil menduduki kota Yogyakarta selama 6 jam. Sesuai dengan kesepakatan sebelumnya, tepat pukul 12.00 siang TNI mengundurkan diri. Yogyakarta kembali dikuasai oleh Indonesia.



Bambu runcing VS Senapan
Bayangkan saja, hanya dengan berbekal bambu runcing dan senjata tradisional Indonesia dapat mengalahkan pasukan Belanda yang berbekal senapan berkaliber tinggi dan jauh lebih canggih. Perang Gerilya yang dipimpin oleh Jenderal Sudirman mampu membuat Belanda kewalahan. Taktik Gerilya adalah taktik yang dilakukan pada malam hari ketika pasukan Belanda tengah lengah dan terlelap. Memanfaatkan kondisi inilah pasukan Jenderal Sudirman berhasil menyerang Belanda.
Serangan Umum 1 Maret juga membuat Belanda menyerah dan harus keluar dari Yogyakarta. Serangan ini dipimpin oleh Letkol Soeharto. Serangan ini dilaksanakan serentak si seluruh daerah penting di Yogyakarta dan sekitarnya. Belanda yang tidak siap menghadapi serangan besar-besaran ini pun lari tunggang-langgang. Taktik perang yang cerdik, kerelaan berkorban, dan yang utama adalah semangat persatuan dan kesatuan untuk berjuang demi Merah-Putih merupakan senjata yang sempurna untuk mengalahkan senjata-senjata canggih milik Belanda.

Monumen Jogja Kembali
Untuk memperingati keberanian, persatuan, dan perjuangan rakyat Indonesia ini, maka tanggal 29 Juni 1985 dibangun Monumen Jogja Kembali (Monjali) oleh Sri Sultan Hamengku Buwono IX dan diresmikan oleh Presiden Soeharto pada tanggal 6 Juni 1989. Monumen ini berbentuk menyerupai gunung yang melambangkan kesuburan. Selain itu untuk melestarikan budaya nenek moyang kita pada jaman pra sejarah. Di sekitar kerucut ada air yang melambangkan kesucian, pahlawan yang suci yang berjuang dengan slogan “Merdeka atau Mati!”
Monumen yang merupakan karya arsitek Prof. Dr. Baskoro Tedjo ini dibangun digaris imajiner “Poros Makro Kosmos” yang berarti Titik Besar Kehidupan Masyarakat. Garis Imajiner ini merupakan garis yang menghubungkan tujuh tempat penting bagi kepercayaan tradisional masyarakat Jawa yang memercayai bahwa dari tujuh tempat inilah terdapat sumber kehidupan masyarakat. Ketujuh tempat ini adalah : Parangtritis, Panggung Krapyak, Kraton Ngayogyakarta, Tugu Pal Putih, Monumen Jogja Kembali, dan Gunung Merapi.


Yang rela gugur
Di kawasan Monumen Jogja Kembali ini terdapat sebuah dinding dengan tulisan “Pahlawan yang Gugur Selama Clash Kedua dalam Wilayah Wehrkreise III”. Di sana diabadikan nama- nama pahlawan yang gugur saat peristiwa itu terjadi. Namun mereka hanya sebagian kecil pahlawan perjuangan yang tercatat. Masih banyak pahlawan lainnya yang gugur namun tidak tercatat. Mereka dimakamkan di tanah-tanah warga dan diberi tanda berupa tongkat bambu dengan tanda merah-putih yang menandakan bahwa mereka adalah pahlawan.
Perlu diketahui bahwa mereka yang gugur dan diberi penghargaan sebagai pahlawan tidak hanya mereka yang terlibat langsung dalam peperangan itu. Tapi semua warga Indonesia yang menjadi korban kekerasan Belanda saat itu. Mereka adalah petani, peternak, dan warga sipil lainnya yang dianggap oleh Belanda dianggap musuh yang kemudian dibunuh.



Berharap ada yang “kembali”
Kini Indonesia telah merdeka dan sudah tidak dihadapi oleh peperangan fisik seperti yang terjadi saat itu. Betapa kita tidak bersyukur ketika tetes darah para pejuang hanya diingat tetapi tidak dilanjutkan perjuangannya. Seperti darah itu sudah kering dan bahkan tidak berbekas. Kenyataan bahwa kini masyarakat Indonesia menganggap sejarah merupakan hal yang membosankan untuk dibahas, merupakan kenyataan yang pahit. Belum lagi ketika melihat keadaan Bangsa Indonesia saat ini, penuh dengan trik, kecurigaan, perselisihan, dan konflik dimana-mana.
Ada kesamaan keadaan Bangsa Indonesia kini dengan masa lalu, yaitu adanya ancaman yang menguasai Indonesia yang dapat membawa kepada kejatuhan Indonesia. Dengan begitu diharapkan ada sesuatu yang kemudian “kembali”. Perjuangan bela negara, kerelaan berkorban, cinta tanah air, dan yang utama adalah semangat persatuan dan kesatuan untuk berjuang kembali demi Merah-Putih.
Tidak dengan bambu runcing, gerilya, ataupun serangan serentak, tapi dengan prestasi dan rasa nasionalisme yang ditunjukkan dengan peran aktif masyarakat untuk bersama membangun Indonesia kembali mendapat perhatian dari dunia Internasional, dan membuktikan kepada mereka bahwa Negara Indonesia masih berdiri tegak.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar