Tik... tik.. tik... detikan jam mengalun sepadan. Tepat pukul 21.34 aku masih beradu denganmu.
Kamu : (menatap langit-langit) Hmm.. Aku ingin bertanya padamu, boleh?
Aku : (menengok dengan segera) Apa? Apa yang ingin kau tahu dariku?
Kamu : Pernah kamu mendengar konsep memilih dan dipilih? (menutup rangkaian kertas)
Aku : Memilih? Dipilih? Apa itu? Setidaknya jelaskan padaku terlebih dahulu untuk pertanyaanmu
itu.
Kamu : Ini tentang bagaimana ketidakpernahan hati memilih. Hati itu dipilih.
(tertunduk dan menghela nafas)
Aku : Aku tahu, lalu apa pertanyaanmu? (menatap dalam)
Kamu : Lantas tidak berhakah hatiku memilih? Ha? (keraguan tersirat jelas di mata)
Aku : Sebenarnya apa yang kau ragukan? Ketidakberhakanmu memilih sebab
mazab itu berkata demikian?
Kamu : (mengangguk perlahan)
Aku : Hahaha... (tertawa keras kemudian mengusap helaian rambutnya) Karena ini kamu
dengan kesederhanaan pikirmu.
Kamu : Apa maksudmu? (menjejak kaki kesal)
Aku : Aku rasa mazab itu belum selesai. (menatap sambil tersenyum)
Kamu : (membuka kembali rangkaian kertas) Ini lihat, aku membacanya dari sini. Kamu tidak
percaya padaku?
Aku : (mengusap kasar rambutnya) Bukan, aku tidak meragukanmu. Hanya bagiku kalimat itu
belum selesai. Menurutnya hati tidak pernah memilih. Hati itu dipilih.
Kamu : Lantas?
Aku : Lalu oleh siapa hati itu dipilih? Bukankah itu keberhakan hatimu untuk memilih? Masih kau
ragukan ketidakberhakanmu memilih sebab mazab itu berkata demikian? (menatap balik)
Kamu : Kamu benar.... (menutup rangkaian kertas, kembali)
-me-
Tidak ada komentar:
Posting Komentar